ILMU PENDIDIKAN KODE MK/SKS TAR 308/2
Abstrak
Tulisan ini menjelaskan tentang implikasi fitrah manusia dalam pendidikan islam. Apakah fitrah manusia itu baik atau jahat? Disebut fitrahnya itu baik, faktanya banyak manusia yang jahat, dan sebaliknya dibilang fitrahnya jahat, tidak sedikit manusia yang baik. Pendidikan dalam Islam sebagai lahan untuk menyemai bibit unggul fitrah agar manusia tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang sesuai dengan fitrahnya.
Kata kunci : Fithrah manusia, pendidikan Islam
BAB I
1. Latar Belakang
Allah menciptakan manusia dalam keadaan fitrah dengan dibekali beberapa potensi yakni potensi yang ada dalam jasmani dan rohani. Bekal yang dimiliki manusia pun tidak hanya berupa asupan positif saja, karena dalam diri manusia tercipta satu potensi yang diberi nama nafsu. Dan nafsu ini yang sering membawa manusia lupa dan ingkar dengan fitrahnya sebagai hamba dan khalifah Allah di bumi. Untuk itu manusia perlu mengembangkan potensi positif yang ada dalam dirinya untuk mencapai fitrah tersebut.
Manusia merupakan makhluk pilihan Allah yang mengembangkan tugas ganda, yaitu sebagai khalifäh Allah dan Abdullah (Abdi Allah). Untuk mengaktualisasikan kedua tugas tersebut, manusia dibekali dengan sejumlah potensi didalam dirinya. Potensi-potensi tersebut berupa ruh, nafs, akal, qalb, dan fitrah.[1]
BAB II
1. Fitrah Manusia
Dalam dimensi pendidikan, keutamaan dan keunggulan manusia dibanding dengan makhluk Allah lainnya terangkum dalam kata fitrah. Secara bahasa, kata fitrah berasal dari kata fathara ( فطر ) yang berarti menjadikan. Kata tersebut berasal dari akar kata al-fathr ( الفطر ) yang berarti belahan atau pecahan.
Setiap manusia dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan fitrah, hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
كلّ مولود يولد على الفترة ، فأبواه يهود نه أو ينصرانه أو يمجسانه (رواه الأسود بن شريع)
Artinya: “setiap anak (manusia) itu terlahir dalam fitrahnya. Kedua orangtuanya lah yang akan mewarnai (anak) nya, apakah menjadikannya seorang Yahudi, Nasrani, atau Majusi". (HR. Muslim).
Berdasarkan hadits di atas bisa kita katakan bahwa yang namanya fitrah sebenarnya baik, tapi ada pengaruh setelah ia trelahir ke dunia, hinga fitrah tersebut tergantung pada baik buruknya pengaruh dari orang tuanya.
Dalam Al-Quran terdapat banyak kata yang mengacu pada pemaknaan kata fitrah. Secara umum, pemaknaan kata fitrah dalam Al-Quran dapat dikelompokkan dalam empat makna, yaitu sebagai berikut.[2]
A. Proses penciptaan langit dan bumi
B. Proses penciptaan manusia
C. Pengaturan alam semesta beserta isinya denga serasi dan seimbang
D. Pemaknaan pada agama Allah sebagai acuan dasar dan pedoman bagi manusia dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Selanjutnya bila makna kata fitrah dikaitkan pada manusia dapat dipahami dengan merujuk firman Allah surat al-Ruum ayat 30 sebagai berikut:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ (٣٠)
Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Secara umum, para pemikir muslim cenderung memaknainya sebagai potensi manusia untuk beragama (tauhid ila Allah). Fitrah diartikan sebagai kemampuan dasar untuk berkembang dalam pola dasar keislaman (fitrah islamiah) karena faktor kelemahan diri manusia sebagai ciptaan Allah yang berkecenderungan asli untuk berserah diri kepada kekuatan-Nya.[3]
fitrah adalah naluri beragama yang diberikan Allah pada
manusia sejak berada dalam alam rahim, sesuai dengan firman Allah pada surat Al-A’raf ayat 172:
وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِىٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ ذُرِّيَّتَہُمۡ وَأَشۡہَدَهُمۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِہِمۡ أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡۖ قَالُواْ بَلَىٰۛ شَهِدۡنَآۛ أَن تَقُولُواْ يَوۡمَ ٱلۡقِيَـٰمَةِ إِنَّا ڪُنَّا عَنۡ هَـٰذَا غَـٰفِلِينَ ۞
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".
2. Implikasi Fitrah Manusia Terhadap Pendidikan
Alat-alat potensial dan berbagai potensial dasar atau fitrah manusia tersebut harus ditumbuhkembangkan secara optimal dan terpadu melalui proses pendidikan sepanjang hayatnya. Manusia diberikan kebebasan untuk berikhtiar mengembangkan alat-alat potensial dan potensi-potensi dasar atau fitrah manusia tersebut. Namun demikian, dalam pertumbuhan dan perkembangannya tidak dapat lepas dari adanya batas-batas tertentu, yaitu adanya hukum-hukum yang pasti dan tetap menguasai alam, hukum yang menguasai benda-benda maupun masyarakat manusia sendiri, yang tidak tunduk dan tidak pula bergantung pada kemauan manusia. Hukum-hukum inilah yang disebut dengan taqdir (Keharusan universal)
Di samping itu, pertumbuhan dan perkembangan alat-alat potensial dan fitrah manusia itu juga dipengaruh oleh faktor-faktor hereditas, lingkngan alam, lingkungan sosial, sejarah. Dalam ilmu-ilmu pendidikan ada 5 macam faktor-faktor yang menentukan keberhasilan pelaksanaan pendidikan, yaitu tujuan, pendidik, peserta didik, alat pendidikan, dan lingkungan. Karena itulah maka minat, bakat, kemampuan (skill), sikap manusia yang diwujudkan dalam kegiatan ikhtiarnya dan hasil yang dicapai dari kegiatan ikhtiarnya tersebut bermacam-macam.[4]
Fitrah berisi daya-daya yang wujud dan perkembangannya tergantung pada usaha manusia sendiri. Oleh karena itu fitrah harus dikembalikan dalam bentuk-bentuk keahlian, laksana emas atau minyak bumi yang terpendam di perut bumi, tidak ada gunanya kalau tidak digali dan diolah untuk manusia. Di sinilah letak tugas utama pendidikan. Sedangkan pendidikan sangat dipengaruhi oleh factor pembawaan dan lingkungan (nativisme dan empirisme). Namun ada perbedaan antara pendidikan Islam dengan pendidikan umum. Pendidikan Islam berangkat dari filsafat pendidikan theocentric, sedangkan pendidikan umum berangkat dari filsafat anthropocentric.
Theocentric memandang bahwa semua yang ada diciptakan oleh Tuhan, berjalan menurut hukum-Nya. Filsafat ini memandang bahwa manusia dilahirkan sesuai dengan fitrah-Nya dan perkembangan selanjutnya tergantung pada lingkungan dan pendidikan yang diperoleh. Sedang seorang guru hanya bersifat membantu, serta memberikan penjelasan-penjelasan sesuai dengan tahap perkembangan pemikiran serta peserta didik sendirilah yang harus belajar. Sedangkan filsafat anthropocentric lebih mendasarkan ajaran pada hasil pemikiran manusia dan berorientasi pada kemampuan manusia dalam hidup keduniawian. Dalam pendidikan Islam hidayah Allah menjadi sumber spiritual yang menjadi penentu keberhasilan akhir dari proses ikhtiyariah manusia dalam pendidikan.[5]
Fitrah manusia dan implikasinya dalam pendidikan dapat dijelaskan lebih lanjut dengan:
1. Pemberian stimulus dan pendidikan demokratis
Manusia ditinjau dari segi fisik-biologis mungkin boleh dikatakan sudah selesai, “Physically and biologically is finished”, tetapi dari segi rohani, spiritual dan moral memang belum selesai, “morally is unfinished”.
Manusia tidak dapat dipandang sebagai makhluk yang reaktif, melainkan responsif, sehingga ia menjadi makhluk yang responsible (bertanggung jawab). Oleh karena itu pendidikan yang sebenarnya adalah pendidikan yang memberikan stimulus dan dilaksanakan secara demokratis.
2. Kebijakan pendidikan perlu pertimbangan empiris.
Dengan bantuan kajian psikologik, implikasi fitrah manusia dalam pendidikan islam dapat disimpulkan bahwa jasa pendidikan dapat diharapkan sejauh menyangkut development dan becoming sesuai dengan citra manusia menurut pandangan islam.
3. Konsep fitrah dan aliran konvergensi
Dari satu sisi, aliran konvergensi dekat dengan konsep fitrah walaupun tidak sama karena perbedaan paradigmanya. Adapun kedekatannya:
Pertama: Islam menegaskan bahwa manusia mempunyai bakat-bakat bawaan atau keturunan, meskipun semua itu merupakan potensi yang mengandung berbagai kemungkinan,
Kedua: Karena masih merupakan potensi maka fitrah itu belum berarti bagi kehidupan manusia sebelum dikembangkan, didayagunakan dan diaktualisasikan.
Namun demikian, dalam Islam, faktor keturunan tidaklah merupakan suatu yang kaku sehingga tidak bisa dipengaruhi. Ia bahkan dapat dilenturkan dalam batas tertentu. Alat untuk melentur dan mengubahnya ialah lingkungan dengan segala anasirnya. Karenanya, lingkungan sekitar ialah aspek pendidikan yang penting. Ini berarti bahwa fitrah tidak berarti kosong atau bersih seperti teori tabula rasa tetapi merupakan pola dasar yang dilengkapi dengan berbagai sumber daya manusia yang potensial.
Sumber Referensi:
[1]Samsul Nizar , Pengantar Dasar-Dasar Pemikira Pendidikan Islam,Jakarta : Media Pratama, 2001, hal 78
[2]Samsul Nizar, 2001, Pengantar Dasar-Dasar Pemikira Pendidikan Islam, , Jakarta : Media Pratama , hal 37
[3]M. Arifin, Filsafat Pendidkan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1994, hal 160
[4]Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja Rosdakrya, 2002) hlm 19
[5Muis Said Iman, Pendidikan Partisipatif, (Yogyakarta:
Safiria Insania Press, 2004) hlm 27
Disusun Oleh: Chandra Kalupena
Dosen Pembimbing: Rosnadi. S,Th.i, M,Pd.i